MEMBACA kisah orang-orang shaleh terdahulu seperti berjumpa telaga jernih di tengah perjalanan panjang lagi memayahkan. Oase yang begitu dirindukan. Bukan hanya mengobati tenggorokan yang didera rasa dahaga tapi juga bisa menyembuhkan hati yang meranggas gersang.
Permukaannya yang bening juga dapat dipakai untuk leluasa bercermin. Menengok kembali apa yang disibukkan sekian lama di dunia ini. Toh kehidupan ibarat roda yang terus berputar. Masalah itu selalu ada. Hanya orang-orang saja yang berbeda menyikapi dan menyelesaikan persoalan tersebut.
Kaitan dengan ilmu dan adab, mari satu jenak membaca kisah Imam Syafi’i, seorang tokoh Muslim yang begitu dimuliakan karena keluasan ilmu dan ketinggian adabnya. Ketika itu remaja kelahiran Gaza tersebut masih berguru kepada Imam Malik bin Anas, Sang Imam Darul Hijrah, semoga Allah merahmati keduanya. Kisah ini dinukil oleh Ibnu Jamaah, pengarang kitab adab penuntut ilmu berjudul “Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim”.
Dikisahkan, Imam Syafi’i adalah sosok pelajar cerdas dan sangat beradab. Sebagai murid, dia sungguh menaruh hormat kepada gurunya. Satu saat Imam Syafi’i tidak berani membuka buku pelajarannya kecuali dengan sangat perlahan. Saking hati-hatinya, lembaran kertas atau halaman buku yang dibuka itu nyaris tidak menimbulkan suara. Imam Syafi’i khawatir jika suara tersebut mengusik perhatian gurunya dan mengganggu konsentrasi Imam Malik yang sedang mengajar di majelis ilmu.
Di lain kisah, orang-orang shaleh dahulu juga diceritakan gemar bersedekah sebelum berangkat ke majelis sang guru. Mereka rela mengorbankan harta apa saja untuk membiayai perjalanan mencari ilmu. Seolah-olah semua harta kekayaan jadi murah demi mahalnya barakah ilmu dan ridha sang guru. Uniknya, selain sedekah, para penuntut ilmu tersebut tak pernah lepas berdoa di setiap harta yang dikeluarkan. Seraya terus mendoakan guru-guru mereka: Ya Allah tutupilah aib guru-guruku dan jangan Engkau menghalangi keberkahan ilmunya untukku.
Kisah serupa di atas lainnya bertebaran di zaman dahulu. Bedanya di zaman now, dua kisah di atas mungkin terdengar aneh. Bahkan boleh jadi ada yang menganggap hiperbola alias lebay. Nyatanya, fenomena kekinian terasa begitu jauh berbeda. Cerita-cerita kesungguhan mencari ilmu dan ikhtiar meninggikan adab nyaris menjadi kisah langka kini. Bertolak belakang dengan yang dinukil buku Ibnu Jamaah.
Belakangan masyarakat setiap waktu tak henti disuguhi potret buram pendidikan di negeri ini. Soal mahasiswa yang mem-bully dosennya, murid yang memalak gurunya, hingga yang paling sadis sekaligus tragis, ada orang tua tega membunuh guru yang mengajari kebaikan kepada anak-anaknya. Seolah tak ada lagi rasa hormat pada pengajarnya.
Menurut Dr. Adian Husaini, Ketua Program Doktor Pendidikan UIKA Bogor Jawa Barat, inilah konsekuensi pendidikan yang hanya ditujukan untuk mencetak ‘pekerja yang baik’. Tapi tidak diarahkan menjadi ‘manusia yang baik’. Kata peribahasa, harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan. Akibat terlalu berharap keuntungan terlalu tinggi tapi belum pasti, akhirnya yang dalam genggaman tangan pun ikut hilang pula. Realitasnya, kompetensi dan skill yang dikejar-kejar tak kunjung bisa diraih juga. Sedang adab dan akhlak yang bersifat prinsip ikut lepas pula, akhirnya.
Padahal biasanya, hard skill itu lebih mudah diraih. Cukup training di bidang tertentu yang ingin dikuasai. Tapi, soft skill terkait pola pikir, pola sikap yang baik, ini butuh proses dan masa yang panjang. Sebab ia adalah proses penanaman nilai. Inilah yang populer disebut pendidikan karakter. Dalam pendidikan Islam, dinamai pendidikan adab atau akhlak mulia. Adab dan akhlak tersebut hanya bisa diraih dengan pembiasaan yang dilatih terus menerus.
Tak heran, Syed Naquib al-Attas, tokoh pendidikan Melayu, menyatakan bahwa yang hilang saat ini dari pendidikan adalah hilangnya adab (Loss of Adab). Sebab inti dari pendidikan adalah penanaman nilai (value) berupa kebaikan dan keadilan. Bukan hanya sebatas kognitif semata yang dikejar dan menjadi ukuran keberhasilan pendidikan.
Hari ini pendidikan sekarang difasilitasi sarana prasarana mewah dan gedung-gedung pencakar langit. Kecanggihan teknologi dan pesatnya informasi juga semakin memanjakan para penuntut ilmu. namun saat adab tercerabut dari ilmu. maka lapisan-lapisan pengetahuan menumpuk. Tapi telaga ilmu itu kian buram. Tak bisa lagi dipakai.
Sumber: hidayatullah.com