Setiap kali jarum jam berdetak di dinding rumah, seolah mengingatkan akan kekosongan yang terasa. Rumah yang dulu dipenuhi celoteh riang dan langkah kaki yang berderap kini terasa begitu sunyi. Inilah kisah yang akrab di hati setiap orang tua yang melepas buah hatinya menuntut ilmu di pesantren.
Rasa rindu itu mengakar begitu dalam. Setiap sudut rumah seakan berbisik, mengingatkan pada kebiasaan-kebiasaan kecil yang kini absen. Kursi kosong di meja makan, kamar yang tertata rapi tanpa jejak, hingga suara tawa yang biasa terdengar di sore hari – semua menjadi kenangan yang menggetarkan hati. Bahkan aroma masakan favorit si buah hati yang mengepul dari dapur seolah kehilangan separuh kehangatannya tanpa kehadiran sang penikmat setianya.
Kekhawatiran dan kerinduan sering datang bersamaan, seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Pikiran tentang kesehatan anak, kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan baru, atau bagaimana ia mengatasi tantangan sehari-hari di pesantren, kadang membuat hati berdebar. Namun, seperti kata bijak dari KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus):
“Setiap tetes rindu yang mengalir dari mata orang tua adalah mutiara yang akan berubah menjadi cahaya ilmu bagi anak-anaknya. Pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu, tapi madrasah kehidupan yang akan menggembleng anak-anak kita menjadi insan yang tangguh dan berilmu.”
Lantas, bagaimana mengobati kerinduan yang menggebu ini? Jawabannya ada dalam kesibukan yang bermakna. Beberapa orang tua memilih untuk mengisi waktu dengan menghadiri majelis taklim, aktif dalam kegiatan sosial, atau berbagi cerita dengan sesama orang tua santri. Ada kelegaan tersendiri ketika berbagi pengalaman dengan mereka yang mengalami hal serupa.
Komunikasi menjadi jembatan penghubung yang sangat berharga. Meski terbatas oleh jadwal dan aturan pesantren, setiap kesempatan berbicara via telepon menjadi momen yang dinanti. Setiap kata yang terucap, setiap kabar yang tersampaikan, menjadi pengobat rindu yang tak ternilai. Bahkan, menulis surat – sebuah tradisi yang mungkin terdengar kuno di era digital ini – bisa menjadi cara yang istimewa untuk mencurahkan kasih sayang.
Yang tak kalah penting adalah memaknai kerinduan ini dari perspektif spiritual. Setiap rasa rindu bisa diubah menjadi doa yang mengalir, setiap kekhawatiran bisa ditransformasi menjadi tawakal kepada Allah. Yakinlah bahwa setiap langkah yang diambil anak di pesantren adalah jejak-jejak menuju keberkahan ilmu dan kehidupan yang lebih baik.
Saat rasa rindu itu datang menghampiri, ingatlah bahwa ini adalah bagian dari proses pendewasaan – bukan hanya bagi sang anak, tapi juga bagi kita sebagai orang tua. Seperti pohon yang melepas buahnya untuk tumbuh, demikianlah orang tua yang melepas anaknya untuk menuntut ilmu di pesantren. Meski terasa berat, namun yakinlah bahwa ini adalah pilihan mulia yang akan membuahkan hasil yang manis di kemudian hari.
Jadikanlah setiap momen pertemuan di hari besuk sebagai oase yang menyegarkan. Dokumentasikan setiap perkembangan melalui foto atau kabar dari pengurus pesantren sebagai pengingat akan pertumbuhan si buah hati. Dan yang terpenting, isilah hari-hari dengan aktivitas yang produktif sambil terus mendoakan kesuksesan anak dalam menuntut ilmu.
Kerinduan memang tak terelakkan, tapi dengan pengelolaan yang bijak, ia bisa menjadi pupuk yang menyuburkan hubungan orang tua dan anak, sekaligus menjadi bukti cinta yang mendalam dan tulus. Karena setiap pengorbanan dan kesabaran dalam mendidik anak adalah investasi akhirat yang tak ternilai harganya.