Di sudut kampung itu, sebuah menara menjulang dengan anggun. Azan berkumandang lima kali sehari, memanggil hati-hati yang merindukan kedamaian. Masjid, lebih dari sekadar bangunan dengan kubah dan mihrab, adalah cermin kehidupan yang menyatukan ribuan kisah dalam dekapan hangatnya.
Ketika mentari pagi mengintip di ufuk timur, langkah-langkah kaki telah bergegas menuju shaf-shaf yang lurus. Para bapak dengan peci dan sarungnya, ibu-ibu dengan mukena putihnya, berjalan beriringan meninggalkan rumah. Di sini, di dalam masjid ini, status sosial luruh. Direktur perusahaan dan tukang sayur berdiri berdampingan, bersujud di atas sajadah yang sama. Inilah kesetaraan yang sejati, yang diajarkan Islam sejak 14 abad silam.
Mari kita menengok sejenak ke masa Rasulullah SAW di Madinah. Saat pertama menginjakkan kaki di kota itu, beliau tidak membangun istana atau benteng pertahanan. Sebaliknya, beliau memilih membangun masjid – Masjid Nabawi yang sederhana namun sarat makna. Di bawah atap pelepah kurma, di atas lantai tanah yang sederhana, terciptalah sebuah peradaban yang mengubah wajah dunia.
Masjid Nabawi kala itu adalah tempat di mana seorang budak bisa duduk bersebelahan dengan bangsawan untuk menimba ilmu. Para sahabat berkumpul mengelilingi Rasulullah, menyerap setiap tetes kebijaksanaan yang mengalir dari lisannya. Di sudut-sudut masjid, para muhajirin yang kehilangan harta benda menemukan tempat bernaung. Mereka adalah Ahlus Shuffah, para penuntut ilmu yang menghabiskan hari dan malam mereka di masjid, mencari bekal kehidupan akhirat.
Semangat itu masih hidup hingga hari ini. Lihatlah bagaimana masjid menjadi tempat berteduh bagi mereka yang lelah dengan hiruk-pikuk duniawi. Setiap Ramadhan, aroma berbagi menguar dari dapur masjid. Para ibu dengan sukarela memasak hidangan berbuka bagi siapa saja yang membutuhkan. Anak-anak yatim menemukan kasih sayang dalam program santunan. Para lansia mendapatkan perhatian melalui pengajian khusus yang menghangatkan hati mereka.
Di teras masjid, remaja-remaja berkumpul selepas shalat Maghrib. Mereka tidak hanya belajar mengaji, tetapi juga menemukan identitas dan tujuan hidup. Remaja masjid menjadi wadah yang menyelamatkan generasi muda dari pergaulan yang merusak. Di sini mereka belajar leadership, tanggung jawab, dan yang terpenting, merasakan indahnya persaudaraan dalam iman.
Masjid juga menjadi tempat di mana air mata kesedihan terbasuh oleh empati. Ketika seorang janda kehilangan suami, komunitas masjid hadir memberikan dukungan moral dan material. Ketika bencana menimpa, masjid menjadi posko bantuan yang menggerakkan solidaritas. Bahkan ketika pandemic Covid-19 melanda, masjid beradaptasi menjadi pusat edukasi protokol kesehatan dan distribusi bantuan bagi warga yang terdampak.
Tak jarang, konflik-konflik kecil antarwarga menemukan jalan damai di serambi masjid. Para tetua berkumpul, dengan kearifan dan kebijaksanaan, membantu mencari solusi yang menghadirkan kemaslahatan bagi semua pihak. Inilah peran masjid sebagai perekat sosial, pemersatu umat yang tak tergantikan.
Di era digital ini, masjid terus berinovasi tanpa kehilangan ruhnya. Kajian-kajian disiarkan secara online, menjangkau mereka yang tidak bisa hadir secara fisik. Perpustakaan masjid dilengkapi dengan komputer dan internet, memudahkan jamaah mengakses ilmu pengetahuan. Program-program pemberdayaan ekonomi berbasis masjid membantu warga bangkit dari kesulitan finansial.
Namun di tengah segala perubahan itu, esensi masjid tetap sama: tempat di mana hati-hati menemukan ketenangan, di mana persaudaraan terjalin tanpa sekat, di mana nilai-nilai kemanusiaan terus dipupuk dan ditumbuhkan. Setiap lantai yang disentuh sujud, setiap dinding yang menyaksikan munajat, menyimpan kisah-kisah kemanusiaan yang menyentuh kalbu.
Masjid adalah bukti bahwa Islam tidak pernah memisahkan ibadah ritual dari kepedulian sosial. Setiap takbir yang berkumandang adalah seruan untuk membangun peradaban yang rahmatan lil ‘alamin. Setiap sujud yang dilakukan adalah pengingat akan kesetaraan manusia di hadapan Sang Pencipta.
Maka, mari kita hidupkan kembali fungsi masjid sebagaimana mestinya. Bukan sekadar tempat singgah untuk shalat lima waktu, tetapi sebagai pusat kehidupan yang mencerahkan, membangun, dan memanusiakan. Karena di dalam masjid, kita tidak hanya menemukan jalan menuju Allah, tetapi juga jalan menuju hati sesama manusia. #imz