Pada abad ke-6 H — ketika tentara Salibis Eropa memasuki tahun ke-90 masa pendudukannya di Palestina — datang obor ‘pencerahan baru’ di dunia Islam. Majid Irsan Kailani menggambarkan, pada masa itu telah bertahun-tahun kerusakan hebat melanda umat Islam. Khalifah lemah, bak simbol belaka. ‘Ulama’ memperjuangkan kepentingan hawa nafsunya sendiri. Antar madzhab fikih saling bertikai sampai pada tingkat penyesatan (tadhlil) dan pengkafiran (takfir) (Majid Irsan Kailani, Hakadza Dzahara Jil al-Ayyubi,edisi Indonesia Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib, hal.77). Ketika tentara Salib menyerbu al-Quds, kaum Muslimin terkaget, tidak siap membela diri. Tapi di era inilah kemudian, Allah Swt memberi anugerah lahirnya generasi pembangkit Islam dengan kekuatan baru dari Dinasti Seljuk.
Di masa itu nasib buruk menimpa kaum Muslimin selama beberapa tahun lamanya. Dengki antar ilmuan, kekejaman penguasa, kehancuran moral, kerusakan pendidikan, dan lain-lain yang semuanya wabah ini disebabkan oleh penyakit al-wahn; cinta dunia (hubbu dunya) dan takut mati (karahiyatul maut). Tetapi, menurut Sayyid Abul Hasan al-Nadwi penderitaan yang paling memilukan adalah stagnasi dan kerusakan ilmu pengetahuan.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Fashul Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah mendeskripsikan kondisi umat dengan fenomena muncul pola-pola pengkafiran terhadap pengikut madzhab lain. Antar pengikut madzhab saling berseteru dengan sangat emosional. Atas keadaan umat yang saling berpecah-belah ini, imam al-Ghazali mengajukan kritik keras terhadap ulamanya.
Di zaman kritis ini, hampir satu abad kerajaan Salib mengancam keamanan wilayah semenanjung Arab. Al-Quds, tempat suci ke-3 umat Islam, yang mula-mula ditaklukkan. Kemudian melebar ke sebagian negeri Syam dan mereka bermaksud melanjutkan ekspansi militer untuk menguasai kota Nabi (Madinah). Tetapi sebelum misi menguasai tanah Madinah, Allah Swt memberi pertolongan kemenangan kepada umat Islam dengan lahirnya generasi-generasi pahlawan; Imaduddin Zanky, Nuruddin Mahmud Zanky dan puncaknya muncul Sultan Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi.
Namun tiga pahlawan ini tidak lah datang secara tiba-tiba dari ujung utara tanah haram. Bukan seperti malaikat yang turun dari langit. Generasi al-Ayyubi merupakan karamah Allah Swt untuk kemulyaan Islam. Majid Irsan Kilani mengatakan, al-Ayyubi tidak datang sebagai seorang utusan langit yang datang begitu saja. Ia lahir dari model pendidikan Islam yang dirintis para ulama sebelumnya, terutama Hujjatul Islam imam al-Ghazali. Dia lah yang membentuk kaderisasi ulama pejuang dan pejuang yang ulama. Reformasi umat dimulai dengan meneliti kerusakan ilmu dan ulama.
Reformasi yang dilakukan imam al-Ghazali bertujuan mengikis fanatisme dan membuka sekat-sekat antar umat Islam dengan cara membersihkan hati (tazkiyatu al-nafs). Yang unik, titik tolak reformasi Imam al-Ghazali ini tidak berangkat dari politik dan militer. Melainkan memulainya dengan islah al-dzati, reformasi (pemikiran) internal.
Adalah hal yang menakjubkan bahwa pada masa sedini itu, al-Ghazali justru sedang mengevaluasi dirinya sendiri dengan sungguh-sungguh, menemukan masalah di dalam dirinya, dan kemudian secara sadar mengambil langkah untuk memperbaikinya dan masyarakat secara umum.
Setidaknya setengah abad kemudian, kesadaran itu mulai muncul dan mulai membalikkan keadaan mereka dari kekalahan kepada kemenangan.
Apa yang dilakukan oleh imam al-Ghazali tidak hanya bermakna bagi dirinya semata, tetapi juga bagi dunia Islam keseluruhannya. Karena itu, bersama Nizam al-Muluk dari kalangan negarawan, imam al-Ghazali dianggap sebagai tokoh utama kebangkitan kembali Ahlu Sunnah pada era tersebut.
Dari hasil evaluasi imam al-Ghazali selama uzlah 10 tahun, ditemukan bahwa membangkitkan umat Islam harus dimulai dari memperbaiki diri internal, bukan langsung membangun kekuatan militer dan politik. Inilah yang menarik.
Kebangkitan, harus didasari oleh pemikiran dan akidah yang sehat. Dalam karya-karya imam al-Ghazali, reformasi yang dialakukan memiliki kekhasan. Pertama, tulisan-tulisan imam al-Ghazali tidak memuat ajakan kepada kaum Muslimin untuk berjihad (qital) melawan kaum Salib dan bangsa Mongol. Kedua, beliau lebih cenderung melakukan kritik atas diri sendiri (al-naqd al-dzati).
Oleh sebab itu, dia tidak mencari-cari alasan apapun untuk menjustifikasi kelemahan umat Islam serta melemparkan tanggung jawab atas segala keterpurukannya kepada kekuatan-kekuatan asing yang menyerang.
Dalam sejarah, ternyata minimnya kekuatan militar dan jumlah manusia tidak menjadi faktor keruntuhan peradaban. Bangsa yang memiliki kekuatan militer tetapi lemah dalam ilmu pengetahuan akan dikalahkan oleh bangsa yang berilmu pengetahuan meski lemah kekuatan militernya.
Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan: “Telah berlaku beberapa kali dalam sejarah, bagaimana sesuatu bangsa yang kuat tenaga manusianya tetapi tidak ditunjang oleh budaya ilmu yang baik, akan menganut dan tunduk terhadap peradaban yang ditaklukannya” (Wan Mohd Nor Wan Daud,Budaya Ilmu, hal. 12).
Contoh ketika bangsa Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan dan Kublai Khan menaklukkan Cina, ternyata dalam perjalanan waktu bangsa Mongol ‘dicinakan’ oleh rakyat Cina. Karena bangsa Cina berpengetahuan sedangkan bangsa Mongol hanya mengandalkan kekuatan manusia.
Begitu pula ketika bangsa Mongol menyerang Baghdad secara membabi buta, membantai penduduknya dan membakar perpustakannya. Namun, ternyata bangsa ini terislamkan dalam beberapa tahun kemudian.
Ketika kepulauan Nusantara masih dicengkeram oleh budaya dan agama animisme, dinamisme, Hindu serta Budha, penduduk Nusantara tidak teredukasi dengan baik. Sebab peradaban Hindu-Budha tidak membekas tradisi ilmiahnya.
Hindu-Budha memang lebih dulu berjaya di Nusantara daripada Islam. Akan tetapi kebudayaan Hindu-Budha sesungguhnya tidak memberi bekas yang kuat terhadap masyarakat Nusantara. Sebaliknya, peradaban Islam mengubah pandangan hidup rakyat Melayu-Indonesia dengan warisan yang lekat dan mengakar hingga saat ini.
Pengaruh kuat Hindu hanya terbatas kebada keluarga elit kerajaan. Sedangkan kalangan rakyat tidak begitu berpengaruh bahkan tidak menghiraukan doktrin kebudayaan Hindu. Rakyat pada masa itu lebih banyak menganut animisme-dinamisme, kepercayaan lokal yang sudah ada sebelum Hindu-Budha. Jika memeluk Hindu-Budha, maka lebih cenderung dipengaruhi anismisme-dinamisme.
Para pendakwah Islam itu tidak membawa kekuatan politik, pun juga tidak dibeking oleh pasukan militer. Pendekatan keilmuan dan pendidikan itulah yang membuat mereka memenangkan. Bahkan bisa memenangkan dari pada kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Nusantara.
Dalam sejarah peradaban Islam, muara kebangkitan peradaban Islam kepada ilmu dan ulama. Imam al-Ghazali mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).
Patut pula kita memetik ibrah apa yang terjadi sebelum Andalusia jatuh. Pada tahun 512 H/1118 M, di negeri Maghrib (Maroko) terjadi pemberontakan yang mengakibatkan kekalahan orang Murabithun dua kali berturut-turut di Wiliayah Qotonda dan Caleia. Kaum Murabithun pada masa itu menjadi penguasa Maroko yang menjadi kerajaan penyangga Andalusia. Dari dua kekalahan beruntun ini, mengakibatkan lemahnya Andalusia yang selanjutnya berujung runtuhnya Andalusia (Raghib al-Sirjani,Qishotu al-Andalusia min al-Fath ila al-Suquth. Edisi Indonesia Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, hal. 610).
Bagaimana bisa negeri Andalusia yang telah menancapkan kejayaan peradaban emasnya selama kurang lebih 800 tahun tiba-tiba jatuh?. Banyak kisah kegemilangan kaum Muslimin yang berhasil diukir di wilayah benua Eropa Barat itu. Ketika Andalusia — sekarang terletak di Spanyol dan Portugal — di bawah kekuasaan Islam, tinta emas peradaban berhasil ditancapkan dan menjadi rujukan ilmu pengetahuan bangsa-bangsa Eropa. Cukup banyak ilmuan Muslim yang lahir di sini dan menjadi acuan ilmuan Barat. Para sarjana Muslim dan sejarawan menganalisa bahwa keruntuhan Andalusia tidak datang secara tiba-tiba. Proses kejatuhannya bahkan berlangsung selama 200 tahun. Artinya, selama masa 200 tahun akhir, Andalusia mengalami krisis hebat.
Raghib al-Sirjani menggambarkan krisis di berbagai wilayah Andalusia. Pada waktu itu di wilayah Maroko khamar diperjual-belikan, dikonsumsi, bahkan diproduksi di dalam negeri secara terang-terangan tanpa ada seorang pun ulama yang melarang. Beberapa pejabat semena-mena berlaku dzalim kepada raktyat, tanpa ada satu pun ulama yang menasihati. Tarian-tarian dengan mempertontonkan aurat wanita secara terbuka dipamerkan. Juga, lagi-lagi tidak ada ulama yang mencegahnya.
Kencerungan para ulama’ nya pada zaman itu yang terlalu memusatkan fokusnya kepada masalah yang bersifat furu’ daripada membahas problema prinsipil yang dihadapi umat akhirnya berakhir dengan acuhnya para ahli ilmu terhadap kemunkaran dan cinta dunia.
Kesibukan pada hal yang remeh ini berlanjut dengan fanatisme buta terhadap madzhab. Abdul Wahid al-Marakasyi pernah menceritakan kerusakan ahli ilmu pada paruh akhir Andalusia: “…yang muncul pada waktu itu ialah keharusan membahas masalah furu’ dan sikap suka menganggap kafir orang yang menekuni ilmu kalam. Ulama-ulama ahli fikih yang dekat dengan Amir menghujat ilmu kalam, tidak menyukai ulama-ulamanya, meninggalkan sama sekali, karena dianggap sebagai bid’ah atau mengada-ada dalam agama. Akibatnya, muncul sikap antipasti terhadap ilmu kalam dan ulama-ulamanya” (Abdul Wahid al-Marakasyi,Al-Mu’jab, hal. 236).
Fanatisme yang membuta tersebut melahirkan hujatan yang keras terhadap ulama-ulama. Salah satu yang menjadi sasaran cercaan adalah Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali. Ali bin Yusuf bin Tasyfin, pernah membakar kitab-kitab karya imam al-Ghazali karena dianggap bertententangan dengan Islam.
Kemaksiatan dan berbagai bentuk kemungkaran lainnya hanya merupakan buah, bukan faktor utama robohnya peradaban Islam. Akan tetapi, faktor yang mendasarnya adalah kerusakan ulama yang diawali oleh kerusakan ilmu. Ketika suatu negeri atau daerah absen dari ulama atau terdapat ulama tetapi tidak menjalankan fungsi amar ma’ruf nahi munkar, maka bisa dikhawatirkan robohnya tatanan masyarakat Islam.
Ibnu Khaldun berpendapat, bahwa runtuhnya peradaban dikarenakan penyakit materialisme dan menurunnya pengembangan ilmu pengetahuan. Ibnu Khaldun mengatakan: “Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi hewan” (Ibnu Khaldun,Mukaddimah, hal. 289).
Terkait dengan itu, Hamid Fahmy Zarkasyi berpendapat, untuk membangun kembali peradaban Islam memerlukan beberapa prasyarat konseptual. Pertama, memahami sejarah jatuh bangunnya peradaban Islam di masa lalu. Kedua, memahami kondisi umat Islam masa kini dan mengidentifikasi masalah atau problematika yang sedang dihadapi umat Islam masa kini. Dan ketiga, sebagai prasyarat poin kedua, adalah memahami kembali konsep-konsep kunci dalam Islam. terutamanya perlu memahami Islam dengan menggali konsep baru dalam berbagai bidang sehingga dapat membentuk bangunan baru peradaban Islam yang mampu menghadapi tantangan zaman (Hamid Fahmi Zarkasyi,Peradaban Islam Makna dan Strategi Pembangunannya, hal. 41).
Maka, mulai saat ini mari kembali kepada ulama. Segala problematika selesaikan sesuai petunjuk ilmu-ilmu (fas’alu ahla dzikri in kuntum la ta’lamun). Ilmu kita dalami, ulama kita agungkan. Sebab, Nabi Saw tidak mewarisi harta apapun, terkecuali ulama. Wallahu a’lam bis showab.
Sumber: Inpasonline.com
Leave a Reply