Senja mulai merambat di jendela kamar Dika. Bocah 12 tahun itu masih asyik dengan tabletnya, jemarinya lincah menari di atas layar, matanya tak berkedip menatap permainan yang sedang dia mainkan. Ini sudah jam kelima dia berkutat dengan gadgetnya sejak pulang sekolah.
“Dika, ayo makan malam dulu, Nak,” panggil Mama dari ruang makan.
“Bentar, Ma. Tinggal sedikit lagi level ini selesai,” jawab Dika tanpa mengalihkan pandangannya.
Mama menghela napas panjang. Sudah tiga kali dia memanggil Dika, tapi jawaban yang dia terima selalu sama. Di meja makan, Papa yang baru pulang kerja memperhatikan raut wajah Mama yang tampak cemas.
“Ada apa, Ma?” tanya Papa sambil meletakkan tas kerjanya.
“Dika, Pa. Sudah lima jam dia main game di tablet. PR-nya belum dikerjakan, makan siang tadi juga buru-buru karena tidak mau ketinggalan game online dengan teman-temannya.”
Papa terdiam sejenak. Dia teringat percakapannya dengan seorang rekan kerja yang berbagi pengalaman tentang cara mendidik anaknya di era digital. Malam itu, setelah Dika akhirnya bergabung untuk makan malam, Papa mengajak keluarga kecilnya berbicara.
“Dika, Papa mau cerita sedikit,” Papa memulai dengan lembut. “Kamu tahu tidak, gadget itu seperti cahaya? Bisa sangat bermanfaat kalau kita gunakan dengan tepat, tapi juga bisa menyilaukan kalau terlalu terang.”
Dika mengangkat wajahnya, tertarik dengan analogi yang digunakan Papa.
“Maksudnya gimana, Pa?” tanyanya penasaran.
“Coba kamu bayangkan. Kalau malam-malam gelap, cahaya lampu membantu kita melihat, kan? Tapi kalau cahayanya terlalu terang dan kita tatap terus, mata kita bisa sakit. Sama seperti gadget, kalau digunakan dengan bijak bisa membantu kita belajar dan berkembang, tapi kalau berlebihan…”
“Bisa bikin mata sakit seperti yang Dika rasakan sekarang?” sambung Dika sambil mengucek matanya yang memang terasa perih.
Mama tersenyum lembut, “Betul, sayang. Dan bukan cuma mata yang bisa terganggu. Waktu belajar, waktu istirahat, bahkan waktu kumpul dengan keluarga jadi berkurang.”
Malam itu menjadi titik balik bagi keluarga kecil ini. Papa dan Mama tidak langsung melarang Dika menggunakan gadget, tapi mengajaknya membuat “Peta Petualangan Digital” – sebuah jadwal yang mereka rancang bersama.
“Lihat, Dika,” Papa menunjukkan selembar kertas berwarna-warni yang mereka buat bersama. “Ini seperti game yang punya level-level. Setiap hari kamu punya misi yang harus diselesaikan sebelum bisa ‘unlock’ waktu bermain gadget.”
Mata Dika berbinar melihat konsep yang familiar dengan dunia gaming yang dia sukai. Di peta itu, setiap tugas sekolah yang selesai, setiap buku yang dibaca, atau setiap aktivitas fisik yang dilakukan memberikan “poin digital” yang bisa ditukar dengan waktu bermain gadget.
Minggu-minggu pertama memang tidak mudah. Ada saat-saat Dika merengek minta tambahan waktu, atau diam-diam mencoba bermain di luar jadwal. Tapi Papa dan Mama tetap sabar dan konsisten. Mereka bahkan ikut mengurangi penggunaan gadget mereka sendiri saat bersama keluarga.
Yang mengejutkan, setelah sebulan berlalu, Dika mulai menemukan keseimbangan barunya. Dia mendapati bahwa bermain bola di lapangan dengan teman-teman ternyata sama serunya dengan bermain game online. Nilai-nilainya di sekolah mulai membaik, dan yang paling membahagiakan, dia punya lebih banyak waktu berkualitas bersama keluarga.
Suatu sore, saat keluarga kecil ini sedang menikmati es krim di teras rumah, Dika tiba-tiba berkata, “Ma, Pa, tau nggak? Dika sekarang ngerti maksud Papa waktu itu. Gadget memang seperti cahaya. Tapi cahaya yang paling terang itu ternyata ada di sini, waktu kita kumpul bareng seperti ini.”
Papa dan Mama saling melempar senyum haru. Mereka tahu, perjalanan mendampingi Dika di era digital ini masih panjang, tapi langkah pertama yang tepat telah mereka ambil bersama.
Dika kini menjadi contoh bagi teman-temannya. Dia bahkan membantu membuat klub coding di sekolah, mengajak teman-temannya memanfaatkan teknologi untuk hal-hal yang lebih kreatif. Gadget tidak lagi menjadi penghalang, tapi justru jembatan yang membawanya pada prestasi dan hubungan keluarga yang lebih erat.
Di rumah mereka, cahaya digital kini bersinar dengan tepat – tidak terlalu redup hingga tertinggal zaman, tidak terlalu terang hingga menyilaukan. Seperti cahaya senja yang hangat di teras rumah, yang menemani obrolan dan tawa keluarga kecil ini setiap harinya.