Melawan Hawa Nafsu
المُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللهِ وَالمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
“Mujahid adalah orang yang melawan dirinya dalam rangka menta’ati Allah, dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang.” (HR. Ahmad)
Makna Al-Mujahadah
Ibnu Mandhur dalam Al-Lisan berkata tentang makna Al-Mujahadah, yakni: “Penyapihan jiwa dari syahwat; menjauhkan qalbu dari angan-angan yang rusak dan syahwat.”
An-Nafs dalam kata bahasa Arab maknanya: ruh, jiwa, hakikat.
Mujahadatu An-Nafs: “Memerangi jiwa yang menyuruh kepada kejelekan; yakni dengan membawanya kepada apa-apa yang ditetapkan syariat.”
Al-Munawi berkata: “Dikatakan (Al-Mujahadah) adalah: ‘Membawa jiwa kepada kesulitan fisik dan menyelisihi hawa nafsu.’” Dikatakan pula: “(Al-Mujahadah) adalah: ‘Melakukan ketaatan terhadap perintah Dia Yang harus ditaati (yakni Allah Azza wa Jalla)”
Nafsul Insan (Jiwa Manusia)
Jiwa manusia terdiri dari tiga jenis:
- An-Nafsul Amarah
Nafsu yang ar-ruh (qalbu, azam, dan akal)-nya dikendalikan oleh al-hawa (syahwat, kecenderungan, khayalan, dan keinginan)-nya. Maka, jiwa yang seperti ini kecenderungannya adalah kepada asy-syahwat semata. Cenderung kepada tabiat badaniyah (hal-hal materi); mendorong kepada kesenangan inderawi; menarik qalbu kepada kesenangan seksual.
Ungkapan an-nafsul amarah disebutkan di dalam firman-Nya yang menceritakan kisah Yusuf ‘alaihis salam,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf, 12: 53)
Nafsu jenis ini menjadi tempat bercokolnya kejahatan, menjadi sumber akhlak yang tercela—inilah nafsu yang kita harus melawannya. Jangan sampai ia menjadi dan penguasa atas ruh kita.
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS. Al-Furqan, 25: 43)
- An-Nafsul Lawwamah
Nafsu yang ar-ruh (qalbu, azam, dan akal)-nya tarik menarik dengan al-hawa (syahwat, kecenderungan, khayalan, dan keinginan)-nya. Jenis jiwa yang seperti ini kecenderungannya masih terpengaruhi ar-ra’yu (rasio). Sedangkan ar-ra’yu seringkali pijakannya adalah dzhan (sangkaan).
Pada orang-orang munafiq, dominasi hawa dan ra’yu inilah yang membuat jiwa mereka berada dalam keadaan ragu memilih (iman atau kafir, taat atau maksiat, baik atau buruk).
مُذَبْذَبِينَ بَيْنَ ذَلِكَ لَا إِلَى هَؤُلَاءِ وَلَا إِلَى هَؤُلَاءِ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلًا
“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (QS. An-Nisa, 4: 143)
Pada orang-orang mu’min, tarikan hawa dan ra’yu ini pun terjadi. Namun cahaya iman masih dapat memperingatkan mereka dari kelalaian, dan setiap kali menimpa kepada mereka keburukan akibat tingkah lakunya sendiri, mereka mencela, menyesali, dan menyalahkan dirinya.
Di dalam Al-Qur’an, ungkapan an-nafsul lawwamah disebutkan dalam firman-Nya berikut ini,
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah, 75: 2)
- An-Nafsul Muthmainnah
Nafsu yang ar-ruh (qalbu, azam, dan akal)-nya mampu mengendalikan al-hawa (syahwat, kecenderungan, khayalan, dan keinginan)-nya. Maka, jiwa yang seperti ini kecenderungannya adalah ad-dzikr, selalu ingat kepada Allah.
Nafsu jenis ini selalu disinari cahaya qalbu dengan sempurna sehingga dapat keluar dari sifat-sifat tercela dan terikat dengan akhlak terpuji.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du, 13: 28)
Mereka yang senantiasa tenang dalam kecintaan kepada Allah Ta’ala ini akan diseru di saat menjelang kematian dan di akhirat kelak dengan seruan agung dari kerajaan langit,
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr, 89: 29-30)
Tingkatan Mujahadatun Nafs
Ibnul Qayyim berkata: Melawan jiwa itu ada empat tingkatan,
- Mujahadatu an-nafs dalam ta’limul huda wa dinil haq (mengenal petunjuk dan agama yang benar).
- Mujahadatu an-nafs dalam mengamalkan petunjuk dan agama yang benar itu setelah mengilmuinya.
- Mujahadatu an-nafs dalam ad-da’wah ilal haq (dakwah kepada kebenaran).
- Mujahadatu an-nafs dalam kesabaran menghadapi kesulitan dakwah ila-Lllah dan kejahatan manusia, serta menjalani itu semua karena Allah.
Akhir dari itu semua, apabila seseorang menyempurnakan empat tingkatan tersebut, jadilah ia bagian dari rabbaniyyin.
Sesungguhnya orang-orang terdahulu telah sepakat bahwa seorang berilmu tidaklah berhak disebut sebagai seorang rabbani sampai ia mengenal kebenaran, mengamalkan, dan mengajarkannya; maka siapa berilmu dan beramal serta mengajar akan mendapat seruan agung dari kerajaan langit (Zadul Ma’ad, 3/10).
Riyadhah
Lawanlah nafsu dengan riyadhah (latihan-latihan jiwa). Dan riyadhah itu dilakukan dengan empat hal: menahan makan, menyedikitkan tidur, irit bicara, dan bersabar dari gangguan manusia.
Menahan makan akan mematikan syahwat; menyedikitkan tidur akan memurnikan tekad, menyedikitkan bicara akan menyelamatkan diri dari bahaya, dan bersabar dari gangguan manusia akan menyampaikan kepada tujuan.
Berkenaan dengan hal ini Abu Darda berkata: “Kalaulah bukan karena tiga hal, tidaklah aku mencintai kehidupan barang sehari pun; lapar dan dahaga di siang hari, sujud malam kepada Allah, dan bermajelis bersama kaum yang berbicara dengan pilihan kata yang baik sebagaimana pemilihan kurma yang paling baik.”
Manfaat Mujahadatun Nafs
- Menundukkan hawa nafsu sehingga taat kepada Allah.
- Menjauhkan nafsu dari syahwat dan menghalangi qalbu dari angan-angan serta tenggelam dalam kelezatan dunia.
- Mengembalikan kesabaran terhadap tekanan-tekanan ujian dan mengembalikannya kepada ketaatan serta memusuhi kemaksiatan.
- Jalan yang lurus yang menyampaikan kepada keridhoan Allah dan surga-Nya.
- Memusnahkan syaitan dan bisikan-bisikannya.
- Menahan hawa nafsu adalah kebaikan dunia dan akhirat
Wallahu A’lam…
Sumber: tarbawiyah.com
Leave a Reply