Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil
Orang tua, terutama ibu, harus punya perhatian lebih dalam mendidik anak. Oleh karena itu, orang tua harus mengajarkan hal-hal baik di permulaan pertumbuhan anak. Kaum ibulah yang paling banyak berinteraksi dengan anak. Baik buruknya anak sangat erat kaitannya dengan ajaran yang diajarkan seorang ibu kepada anak di masa kecil.
Allah SWT memberikan sebuah teladan agung di dalam Al-Quran berkaitan dengan mendidik anak ini, yakni nasihat-nasihat bijak Luqman al-Hakim kepada putranya. Nasihat ini dirangkum dalam sebuah surat yang sangat indah bernama Surat Luqman. Ucapan dan perkataan Luqman sarat hikmah dan penuh kandungan kebijaksanaan. Allah SWT mengabadikan cara Luqman mendidik anaknya dalam surat Luqman ayat 13-16:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman berkata): ‘Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
Luqman menyadari, tidak mungkin seorang anak akan bertumbuh kembang dengan baik tanpa dibekali keimanan dan ketauhidan dalam jiwanya. Ia mengenalkan kepada si anak bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Allah. Laa ilaha illa Allah. Kalimat Tauhid ini meniscayakan kepada setiap yang beriman untuk senantiasa memuliakan dan mengagungkan Allah. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Awalilah bayi-bayimu dengan kalimat Laa ilaha illa Allah.”
Ada tiga tahapan dalam mengenalkan Allah kepada anak-anak kita saat mereka sudah bisa kita ajak menjadi lawan bicara kita. Ini diisyaratkan dalam intisari surat al-A`laq ayat 1-5: Pertama, mengenalkan anak kepada sifat Allah sebagai Maha Pencipta (al-Khaaliq). Kita ajari anak-anak kita bahwa segala sesuatu yang ada dan di mana saja kita menghadapkan wajah kita, semuanya adalah ciptaan Allah. Kita tumbuhkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang ia lihat, ia rasakan, ia perhatikan, ia amati, ia kagumi, adalah ciptaan Allah. Kesadaran inilah yang menundukkan hatinya hanya kepada Allah al-Khaliq.
Kedua, kita ajari anak untuk mengenal Allah dengan mengajarkan sikap syukur atas segala kenikmatan yang melekat pada dirinya. Kita rangsanag anak-anak kita untuk menyadari bahwa setiap anggota tubuhnya adalah amanat yang diciptakan dan diberikan oleh Allah. Di balik semua itu tentu ada ‘harga’ yang harus dibayar, yaitu mensyukuri nikmat Allah SWT. Caranya adalah dengan menggunakan semua itu untuk mengabdi kepada Allah. Tahap ketiga untuk mengenalkan Allah kepada anak adalah mengenalkan sifat al-Kariim (sifat pemurah) Allah. Dengan ini akan tumbuh kecintaan dan pengharapan kepada Allah semata.
Tentu berbakti kepada orang tua punya batasan tertentu. Jika sikap bakti itu dilakukan dengan melanggar prinsip Tauhid, maka tauhid harus dimenangkan dari menuruti keinginan orang tua. Kita tidak boleh melakukan ketaatan kepada seorang makhluk pun jika sampai melanggar perintah Allah.
Dengan taat kepada orang tua, si anak akan meraih berkah dalam kehidupannya. Ada sebuah ungkapan hikmah yang berbunyi “Jadikanlah orang tua raja maka rezekimu seperti raja.” Jika anak-anak memuliakan orang tuanya kelak kehidupan mereka berlimpah dengan kebaikan. Mengapa? Karena Allah ridha kepada siapa saja yang membuat ridha orang tuanya.
Cara ketiga yang diajarkan Luqman kepada anaknya adalah menanamkan sikap tanggung-jawab atas perbuatan yang dilakukan di dunia ini. Setiap perbuatan ada konsekuensinya. Ada anak yang sejak kecil dimanja hingga dewasa oleh orang tuanya. Akhirnya ia takut mengambil suatu keputusan karena khawatir akan mengalami kegagalan. Ada anak yang tidak diajarkan kepadanya sikap tanggung-jawab sehingga ketika ia melakukan suatu perbuatan tercela, ia tak mau bertanggung-jawab, lari dari kenyataan, atau merengek-rengek kepada orang tuanya. Orang tuanya dibuat susah atas tindakan anaknya yang merugikan dirinya atau orang lain.
“Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Qs. al-Zalzalah : 7-8).
Dengan begitu, anak-anak akan berhati-hati dalam bertindak dan berucap. Mereka tidak akan mudah jatuh dalam suatu keburukan. Jika melakukan suatu kekhilafan, ia akan segera menyadari lalu bertaubat kepada Allah dan memperbaiki keadaan agar menjadi lebih baik.
Sikap tanggung-jawab membuat anak-anak cerdas dalam mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri. Sikap bertanggung-jawab akan menjadikannya memilki pengetahuan mana yang boleh dan yang tidak boleh dilakukannya. Ia akan melakukan apa yang ia ketahui sebagai kebaikan dan kebenaran. Ia akan menunda melakukan suatu perbuatan hingga ia mengerti apakah perbuatan itu baik atau buruk. Tentu semua ini dengan menjadikan Allah dan Rasul sebagai tolak ukurnya
Sumber: inpasonline.com