Skip links

Ulama, Intelektual, dan Kekuatan Pena

adminHKC
February 20, 2021

Perseteruan antara yang haq dengan yang bathil akan berlangsung abadi. Perang pemikiran –antara lain- lewat tulisan (baik dalam bentuk artikel dan atau buku) adalah salah satu bentuk dari perseteruan itu. Dengan dukungan –langsung atau tak langsung- dari sejumlah pihak, para perusak agama nyaris setiap saat menjajakan ajaran bathil.

Perusak agama itu mengampanyekan, misalnya, relativisme (dalam beragama). Paham ini menyatakan bahwa pemilik kebenaran mutlak hanyalah Allah. Di luar itu, semua tafsir / pemahaman manusia tentang kebenaran hanya bersifat relatif. Maka, sekali-kali tak boleh ada klaim kebenaran dari seseorang atau kelompok.

Dari ajaran relativisme (dalam beragama), lalu lahir sejumlah ajaran bathil lainnya, seperti sekularisme dan pluralisme. Sekularisme adalah paham yang membatasi urusan / amaliyah keagamaan hanya sekadar di ranah privat saja dan tak boleh dibawa ke wilayah publik.

Sementara, pluralisme adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama itu sama. Semua pemeluk agama (yang berbeda) itu menuju Tuhan yang sama, hanya saja melalui jalan yang berbeda.

Jelas, pemikiran-pemikiran munkar itu –yang gencar disalurkan lewat media tulisan- harus kita lawan dan kalahkan. Cara terbaik -tentu saja- dengan melawannya lewat tulisan juga. Itu, langkah minimal. Sesungguhnya yang terbaik adalah jika kita bisa memimpin pembentukan opini publik melalui tulisan-tulisan kita dan dipublikasikan di berbagai media yang memungkinkan. Pendek kata, di zaman informasi sekarang ini, serbuan para perusak agama mengharuskan kaum beriman untuk tampil melawannya.

Jika kita cermati ilustrasi di atas, maka patut untuk lebih kita renungkan Sumpah Allah ini: “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis” (QS Al-Qalam [68]: 1). Banyak mufassir berpendapat, bahwa jika Allah mengawali firman-Nya dengan sumpah, maka setidaknya ada dua hikmah.

Pertama, segala sesuatu yang bertalian dengan materi yang menjadi subjek sumpah (dalam ayat di atas adalah kalam / pena), hal itu merupakan sesuatu yang sangat penting dan –oleh karena itu- harus kita pelajari secara serius. Menulislah, agar kita mendapatkan kemanfaatan maksimal dalam berdakwah.

Kedua, dengan sumpah itu, Allah bermaksud lebih menarik perhatian kita. Bahwa,  kita diminta untuk benar-benar memperhatikan ayat-ayat Allah selanjutnya yaitu ayat-ayat setelah sumpah itu.

        Sang Pewaris

  Ulama adalah Pewaris para Nabi. Dalam konteks penegakan risalah Islam, para ulama yang memanfaaatkan tulisan sebagai media untuk menegakkan syariat Allah, mendapatkan penghargaan yang tinggi. Mereka, yang menorehkan pena agar risalah yang dibawa Rasulullah Saw tetap sampai ke umat, sungguh menempati posisi mulia di hadapan Allah. Kelak, di Hari Perhitungan, tinta para ulama (yang dipakai untuk menulis) akan berharga sama dengan darah para syahid yang gugur di Jalan Allah.

Mengingat derajat tinggi di Sisi Allah yang bisa diraih para ulama lantaran aktivitas menulis itu, maka siapapun kita, perlu menjadikannya sebagai inspirasi agar bisa menirunya. Jejak para ulama yang aktif menulis perlu kita ikuti, sebab bisa menjadi media yang akan membawa kita ke surga.

Memang, dakwah itu bisa disampaikan lewat lisan atau tulisan. Ideal sekali, jika para ulama memiliki dua model kecakapan itu. Namun di zaman kapanpun, terlebih di masa kini, maka dakwah lewat tulisan tercatat mempunyai banyak keunggulan.

Keunggulan yang paling gampang dikemukakan adalah bahwa dakwah para ulama lewat ketajaman pena mereka, antara lain, akan melahirkan buku(-buku). Karya(-karya) tulis itu bisa diwariskan sampai Hari Akhir. Buku(-buku) itu sungguh terasa abadi.

Lihat saja! Ulama-ulama yang telah (lama) meninggal, akan tetap terasa “hidup” dan “hadir” di dekat kita jika mereka meninggalkan warisan berupa buku. Rasakan saja, kehadiran Buya HAMKA dengan “Tafsir Al-Azhar”–nya. Kehadiran Hasbi ash-Shiddiqi dengan “Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab”-nya. Juga, rasakan kedekatan kita dengan Sayyid Sabiq lewat Kitab “Fikih Sunnah”-nya. Rasakan keakraban kita dengan Sayyid Quthb melalui “Tafsir Fi Zilalil Qur’an”-nya. Sepertinya, para ulama itu tetap hidup, padahal mereka telah lama meninggal.

Ada contoh yang lebih ke belakang lagi. Rasakan kehadiran Imam Nawawi lewat sejumlah buku dia, seperti –antara lain- “Riyadush-Shalihin”. Juga, Imam Syafi’i melalui Kitab “Al-‘Um”. Pun, Imam Malik dengan Kitab “Al-Muwaththa’”-nya.

Untuk ulama kontemporer (yang masih hidup), adakah contohnya? Lihat Dr. Aidh al-Qarni yang “La Tahzan”-nya terjual jutaan copy di Timur Tengah dan ratusan ribu copy di Indonesia.

Berikutnya, sekadar tiga contoh buku karya Intelektual Muslim yang tergolong berusia muda dan isinya langsung mengritisi faham munkar. Ada buku berjudul “Islam Vs Pluralisme Agama” karya Qosim Nurseha Dzulhadi.  Juga, buku “Pluralisme Agama: Haram” karya Adian Husaini. Pun, buku “Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis” karya Anis Malik Thoha.

Sungguh, ulama atau Intelektual Muslim yang “berceramah” lewat buku, buah pikirannya akan bisa dinikmati dalam waktu yang sangat panjang dan bahkan bisa berpeluang sampai Hari Akhir. Sila bandingkan dengan ulama atau Intelektual Muslim yang hanya mengandalkan model ceramah dalam berdakwah. Kemanfaatannya berumur relatif pendek, yaitu sesuai dengan kapasitas daya ingat si pendengar.

  Sang Penerus

Kita – terutama yang berkategori Intelektual Muslim- adalah penerus perjuangan Nabi Saw dan para ulama. Oleh karena itu, kita harus terpanggil untuk bisa mengusahakan ketersedian artikel dan atau buku, dengan cara menulis. Diharapkan, tulisan-tulisan tersebut mampu menjadi sumber inspirasi dan sekaligus sumber energi umat untuk turut berjuang menuju Izzul Islam wal Muslimin.

Dengan demikian, Intelektual Muslim dituntut untuk memiliki kecakapan menulis artikel dan atau buku agar pikiran dan gagasan dia yang Islami dapat dikomunikasikan ke umat. Harapan seperti itu menjadi lebih urgen lagi, sebab –sekali lagi- kini di sekitar kita terjadi perang pemikiran yang dahsyat.

Maka, menjadi tanggung-jawab segenap kaum beriman –terutama Intelektual Muslim- untuk membentengi umat, antara lain, dengan aktif menulis artikel dan atau buku yang berbobot. Hal itu, mensyaratkan para Intelektual Muslim memiliki ketrampilan menulis untuk bisa berjihad lewat tulisan.

Menulislah dengan niat untuk membela agama Allah. Insya-Allah, jika niat itu teguh kita pegang, maka –bukan tak mungkin- pada saat yang sama kita juga bisa menyediakan bacaan bagi kaum beriman saat akan mengamalkan Suruhan Allah ini: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan” (QS Al ‘Alaq [96]: 1).

Jadi, para Intelektual Muslim, ambil pena atau laptop, segeralah menulis!

 

Sumber: Inpasonline.com

Share Post:

Facebook
Twitter
LinkedIn
Telegram
WhatsApp

Leave a comment

Related Post