Konsep Pendidikan Ibn Khaldūn
Ibn Khaldūn merupakan salah satu tokoh penting dalam dunia pendidikan dalam penggalan sejarah peradaban Islam. Bahkan, ia dianggap sebagai pelopor pendidikan Islam paling berpengaruh. Pergumulannya dengan dunia pendidikan telah menuntunnya pada satu kesimpulan bahwa pendidikan adalah urusan setiap personal. Selain itu, sebagai sosiolog, Ibn Khaldūn melihat bahwa ilmu dan pengajaran merupakan dua fenomena sosial. Sehingga dia sampai menyatakan, أن العلم والتعليم طبيعي فى العمران البشرى (ilmu dan pengajaran/pendidikan merupakan dua fenomena yang ada dalam peradaban manusia).
Bahkan, dengan memahami berbagai keadaan pemerintahan yang silih berganti dan mengadakan pendekatan kepada berbagai penguasa dan pejabat, Ibn Khaldūn menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu peroses untuk mewujudkan suatu masyarakat yang berkebudayaan serta masyarakat masa depan. Dari sini dapat diketahui bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk menghasilkan suatu out put yang mengarah kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan berdisiplin tinggi. Pertanyaannya adalah: Bagaimana Ibn Khaldūn merumuskan konsep pendidikannya sehingga dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdisiplin tinggi itu? Berikut ini adalah ulasannya.
Konsep Ilmu
Menurut Ibn Khaldūn ilmu dan pengajaran atau pendidikan (al-ta‘līm) merupakan hal yang natural (tabī‘ī) di dalam peradaban manusia (al-‘umrān al-basyarī). Bahkan ilmu itu sendiri merupakan sikap berseni (al-tafannun) dalam memperoleh dan menguasainya. Dan ilmu harus dikuasai sampai melekat. Jika tidak, maka ilmu berarti belum dikuasai dengan baik dan benar. Karena penguasaan ilmu secara melekat tidak dapat disebut sebagai pemahaman dan kesadaran. Dan perkembangan ilmu ini sejalan dengan berkembangnya satu peradaban. Dan jika suatu peradaban runtuh, secara perlahan cahaya ilmu pun akan meredup.
Dan ilmu menurut Ibn Khaldūn yang beredar di kota-kota besar (metropolitan) dan ditekuni oleh manusia terbagi kepada dua jenis: (1) ilmu tabī‘ī (alam) dan (2) ilmu naqlī (syariat, agama). Yang pertama manusia dapat meraihnya lewat pemikirannya. Sementara yang kedua hanya dapat diambil (dipelajari) yang menurunkannya.
Jenis pertama disebut dengan ilmu-ilmu hikmah falsafi. Sementara yang kedua disebut ilmu-ilmu naqliyah, yang seluruhnya disandarkan kepada khabar (berita) dari yang membuatnya. Pada bagian keduanya itu akal manusia tidak dapat masuk, kecuali hanya menggali hal-hal yang cabang (al-furū‘) yang disarikan dari fondasi-fondasinya (al-usūl). Dan sumber ilmu-ilmu naqliyah ini adalah Al-Quran dan Sunnah yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya.
Yang masuk ke dalam kategori ilmu-ilmu naqliyah ini adalah: ilmu Tafsir, ilmu Qirā’āt, ilmu Hadits, ilmu Usūl al-Fiqh, ilmu Fiqh, ilmu Kalam, ilmu, ilmu bahasa (al-Lughah), ilmu Nahwu, ilmu al-Bayān, ilmu Sastra (al-Adab), ilmu al-Farā’id, ilmu Tasawuf, ilmu tafsir mimpi (ta‘bīr al-ru’yā) dan sebagainya. Semua ilmu naqliyah ini hanya ada di dalam agama Islam.
Dimasa kejayaan peradaban Islam ilmu-ilmu rasional ini kemudian dikembangkan oleh para ilmuan dan saintis Muslim, seperti: Abū Nasr al-Fārābī dan Abū ‘Alī ibn Sīnā di Timur, al-Qādī Abū al-Walīd ibn Rusyd, dan Abū Bakr ibn al-Sā’igh di Andalusia. Selain ada Jābir ibn Hayyān dan Maslamah ibn Ahmad al-Mujrītī dari Andalusia.
Dari sana sejatinya Ibn Khaldūn ingin memberikan catatan penting bahwa Islam tidak mengenal dikotomi ilmu. Bahwa ilmu sumbernya sama: Allah Swt. Maka istilah ilmu agama dan ilmu umum adalah istilah yang tidak tepat untuk digunakan. Selain terminologinya keliru, juga tidak memiliki dasar dalam konsepsi ilmu di dalam Islam. Yang ada adalah klasifikasi yang dibuat oleh Imam Abū Hāmid al-Ghazālī: ilmu fard ‘ain dan ilmu fard kifāyah.
Konsep Pengajaran dan Pendidika
Berkenaan dengan masalah memperoleh ilmu, Ibn Khaldūn mencatat bahwa banyaknya karangan (buku) dan beragam terminologi yang digunakan dalam pengajaran merupakan penghambat dalam menuntut ilmu (al-tahsīl). Disamping banyak cara yang digunakan kemudian seorang murid harus menghadirkan (hafalan) dari itu semua. Kalau demikian, usia murid bisa habis hanya untuk mempelajari satu cabang ilmu.
Misalnya dalam Fiqh menurut madzhab Maliki: harus dimulai dengan kitab-kitab induk, kemudian dilanjutkan dengan berbagai buku syarh-nya seperti kitab Ibn Yūnus dan al-Lakhmī, Ibn Basyīr, begitu juga dengan kitab Ibn al-Hājib. Kemudian seorang murid juga diharuskan membedakan metode Al-Qairuwāniyah dari al-Qurtubiyyah, al-Baghdādiyyah, dan Mesir. Kalau semua harus dilakoni, maka umur sang murid keburu habis. Padahal baru satu madzhab yang dipelajari. Sekiranya seorang guru mengajari muridnya hanya pada masalah-masalah Fiqh, ini sepertinya lebih ringan.
Maka dalam konsep pendidikan, Ibn Khaldūn mengusulkan satu konsep penting dalam mengajar, yaitu al-tadrīj (gradualitas): dilakukan secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit. Misalnya, setiap cabang ilmu harus diajarkan terlebih dahulu adalah persoalan-persoalan yang ada di setiap babnya. Kemudian dijelaskan secara global, disamping seorang guru harus memperhatikan potensi nalar setiap murid sampai akhir dari suatu cabang ilmu.
Ibn Khaldūn juga mengaskan bahwa seorang guru tidak boleh mengajarkan dua cabang ilmu kepada murid dalam satu waktu. Karena pasti ada satu cabang ilmu yang tidak akan dikuasainya dengan baik. Hal ini disebabkan terbelahnya konsentrasi: lebih mengutamakan yang satu dan melalaikan yang lainnya.
Tentang ilmu apakah yang harus pertama kali diajarkan kepada anak oleh kedua orangtuanya, Ibn Khaldūn mengatakan bahwa Al-Qur’an lah jawabannya. Dan pengajaran Al-Qur’an merupakan syiar agama. Lebih dari itu, Al-Qur’an harus menjadi fondasi pengajaran yang di atasnya akan dibangun segala jenis ilmu yang dikuasai oleh sang anak.
Oleh karena itu, kata Ibn Khaldūn, setiap bagian negara Islam menaruh perhatian yang dalam terhadap Al-Qur’an untuk diajarkan kepada anak-anak mereka. Meskipun caranya yang berbeda-beda, tapi Al-Qur’an benar-benar menjadi acuan dasar pendidikan. Misalnya, di Maghrib Al-Qur’an diajarkan secara khusus dan tidak dicampur-adukkan dengan pelajaran dan pengajaran apapun (seperti diselingi dengan Hadits, Fiqih, Syair, bahasa Arab, dan yang lainnya).
Sementara penduduk Afrika lebih cenderung menyatukan pengajaran Al-Qur’an dengan Hadits. Hanya saja perhatian terhadap Al-Qur’an lebih dominan dibanding pengajaran ilmu-ilmu yang lain. Metode mereka ini lebih dekat kepada metode yang dilakono oleh penduduk Andalusia, karena sanad (rantai riwayat) mereka bersambung dengan para syaikh yang ada di Andalusia.
Di Timur (al-Masyriq) pengajaran Al-Qur’an dicampur dengan ilmu-ilmu lainnya. Karena mereka mengutamakan Al-Qur’an di masa muda dan tidak mencampur-adukkannya dengan ilmu lain, seperti ilmu cara menulus (al-khat). Karena teknik menulis (al-khat) memiliki aturan dan guru khusus. Dan penduduk Afrika dan Maghrib cenderung mengajarkan Al-Qur’an. Sementara penduduk Andalusia mendahulukan nyeni (al-tafannun) dalam mengajar dan lebih banyak meriwayatkan bait-bait syair dan mempelajari seluk-beluk bahasa Arab sejak dini. Oleh karena itu, mereka sangat minim dalam cabang ilmu yang lain karena jauh dari mengkaji Al-Qur’an dan Hadits yang berfungsi sebagai fondasi segala ilmu.
Namun intinya, Al-Qur’an menjadi mata pelajaran inti di berbagai belahan dunia Islam. Inin menunjukkan metode pengajaran atau pendidikan ilmu yang benar. Karena anak didik harus terlebih dahulu dikenalkan Kitabullah, bukan yang lainnya. Karena pengajaran Al-Qur’an merupakan bentuk syiar agama Islam.
Tujuan Pendidikan
Rumusan Ibn Khaldūn mengenai tujuan pendidikan adalah untuk: (1) Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu, kemudian kematangan ini akan mendapatkan faedah bagi masyarakat; (2) Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat untuk membantunya hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya; dan (3) Memperoleh lapangan pekerjaan yang digunakan untuk memperoleh rezeki.
Dan ada beberapa faktor yang dijadikan alasan untuk merumuskan tujuan pendidian, yaitu: (1) Pengaruh filsafat sosiologi, yang tidak bisa memisahkan antarmasyarakat, ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat; (2) Perencanaan ilmu pengetahuan sangat menentukan bagi perkembangan masyarakat berbudaya; dan (3) Pendidikan sebagai aktivitas akal insani, merupakan salah satu industri yang berkembang di dalam masyarakat, karena sangat urgen dalam kehidupan individu.
Jika ditelaah lebih dalam, tujuan pendidikan Ibn Khaldūn di atas dapat dilihat dalam tujuan pendidikan Islam yang dirumuskan oleh Al-Attas, yaitu: to produce a good man and not a good citizen (untuk melahirkan seorang manusia yang baik dan bukan warga negara yang baik). Karena pendidikan dalam Islam, menurut Al-Attas, tidak tepat jika hanya disebut tarbiyah, melainkan ta’dīb (proses penanaman adab: etika atau akhlak mulia), baik secara individual maupun di tengah-tengah masyarakat.
Leave a Reply