‘Ilm is Islam. Begitu kata Ilmuwan Barat, Franz Rosenthal. (lihat Knowledge Triumphant, The Concept of Knowledge in Medieval Islam, (Leiden:Brill, 2007), hlm. 2.). Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Berbagai aktifitas keilmuwan generasi Awal Islam membuat Rosenthal sampai pada kesimpulan itu. Bicara ilmu, pasti bicara Islam. Sebab Islam adalah agama Ilmu.
Sejarah mencatat pengembaraan ilmu generasi terbaik Islam yang begitu mengagumkan. Jabir ibn Abdullah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hanbal adalah segelintir nama yang telah dikenal sebagai pengembara ilmu sejati. Jarak yang sangat jauh tidak menghalangi langkah mereka. Banyaknya ujian perjalanan tidak menyurutkan semangat mereka. Untuk menghilangkan haus ilmu mereka rela membayar dengan harga yang sangat tinggi. Apapun yang dimiliki jadi bayarannya. Dan tidak ada keluhan sedikit pun atas apa yang telah mereka jalani.
Imam Syafi’i, Ulama pengembara yang juga ahli syair menggubah syair untuk memotivasi para pencari ilmu. Beliau mengatakan
Tidak selayaknya orang yang berakal dan beradab berdiam diri, tinggalkanlah tanah air, mengembaralah
Pergilah yang jauh, engkau akan mendapati orang-orang pengganti yang kau tinggalkan, bekerja keraslah! Karena nikmatnya hidup hanya muncul dari kerja keras
Saya berpandangan, air yang tidak mengalir akan busuk, jika ia mengalir ia akan bersih, dan jika tidak mengalir akan menjadi kotor
Singa yang tidak keluar dari sarangnya akan mati kelaparan, anak panah yang tidak melesat dari busurnya tidak akan pernah mengena
Matahari pun jika tetap di tempatnya akan dicaci seluruh manusia di Timur dan di Barat
Tibir (bahan baku emas) seperti tanah ketika masih di tempatnya, kayu cendana ketika masih di hutan sama saja dengan kayu lainnya
(Muhammad Abdurrrahim, Diwan al-Imam al-Syafi’i, Beirut:Dar al-Fikr,1995) hlm. 151-152)
Apa yang membuat semangat mereka tidak pernah padam dalam menuntut ilmu? Salah satu yang membuat mereka begitu semangat meskipun menempuh perjalanan jauh karena mereka melihat surga di kejauhan itu. Pandangan ini lahir dari keyakinan mereka terhadap Sabda Rasulullah SAW
“Barangsiapa menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah mudahkan baginya jalan menuju surga” (HR Muslim)
Di akhir zaman ini, jalan menuju surga hakiki itu sepertinya dihalangi oleh surga imitasi yang dibuat oleh para pemuja dunia. Namun ironinya, kebanyakan orang memilih mampir di surga imitasi daripada melanjutkan perjalanan menuju surga yang hakiki.
Padahal untuk membangkitkan kembali peradaban Islam, umat ini harus lebih sering ke majlis ilmu daripada ke tempat wisata, lebih banyak mendengar tuntunan daripada mengikuti tontonan, dan datang lebih awal ke halaqah ilmiah daripada ke resepsi dan walimah.
Fath al-Mawshili sebagaimana dikutip Imam al-Ghazali pernah berkata kepada para sahabatnya “Bukankah orang yang sakit jika tidak mau makan, tidak mau minum, dan tidak mau minum obat, dia akan mati?” Para sahabatnya menjawab “Iya”, al-Mawshili berkata lagi “Demikian juga hati, jika tidak menerima hikmah dan ilmu selama tiga hari, maka dia akan mati.” (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin, Kairo:Dar Mishr li al-Thiba’ah, 1998), Juz I, hlm. 17
Sungguh tepat perkataannya. Manusia bukan hanya jasmani, tapi juga rohani. Jika jasmani membutuhkan makanan dan nutrisi, maka rohaninya pun membutuhkannya. Rohani manusia tidak membutuhkan soto ayam, nasi goreng atau makanan lezat lainnya, tapi dia membutuhkan ilmu dan hikmah untuk tetap hidup dan kuat.
Sekali lagi mari kita simak kembali pesan Manusia Agung, Rasulullah SAW “Jika kalian melewati taman surga, maka bersenang-senanglah di dalamnya.” Para sahabat bertanya, “apa itu taman surga ya Rasulalllah?”. Beliau menjawab “Halaqah dzikir (ilmu),”. (HR al-Tirmidzi)
Sumber: Inpasonline.com
Leave a Reply