Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
ADA dua hal yang seolah bertentangan, padahal sebenarnya seiring sejalan. Keduanya harus ada dalam mendidik anak, sehingga kehadirannya tidak dapat dipertentangkan satu sama lain. Satu hilang, runyamlah pendidikan. Yang satu menguatkan jiwa, yang satu menguatkan pegangan anak pada nilai dan sikap yang jelas. Dua hal itu adalah kelembutan dan ketegasan. Keduanya perlu kita miliki dalam mendidik. Tidak bisa salah satunya saja.
Memenangkan kelembutan saja, apalagi jika karena alasan lebih sesuai dengan teori parenting mutakhir, akan dapat menggelincirkan pada sikap meremehkan sunnah berkait dengan ketegasan. Salah-salah bukan hanya meremehkan. Lebih dari itu bersikap nyinyir mencibir atau bahkan merendahkan tuntunan karena dianggap sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman.
Menjadi orangtua adalah perjalanan untuk mengasah keduanya sekaligus dan kadangkala kita perlu melakukan keduanya secara bersamaan.
Ini memerlukan usaha untuk melatih diri disertai ilmu. Tanpa mengilmu, maksud hati berlemah-lembut kepada anak, tetapi akibatnya justru tak mendidik. Seolah lembut, padahal yang tersisa hanyalah kelemahan. Hal yang sama juga berlaku untuk ketegasan. Betapa sering ingin menunjukkan sikap tegas, tetapi tanpa takaran yang tepat, terlebih jika tidak disertai ilmu, yang kita maksudkan sebagai ketegasan itu justru menjelma sebagai sikap keras lagi kasar.
Sungguh, sangat berbeda antara keras (apalagi kasar) dengan tegas. Banyak orang keras dan kasar, tetapi tak ada ketegasan pada dirinya. Mereka mudah marah, tetapi keputusannya dengan cepat berubah. Sikapnya beralih karena keadaan atau merasa sedikit terdesak. Saat anak meminta es krim, dengan kasar orangtua menolak.
Ketika anak merengek, semakin kasar orangtua menampik permintaan anak. Tetapi begitu ada tamu datang, buru-buru permintaan anak dikabulkan, meskipun dengan cara yang tetap kasar. Uang disodorkan, padahal tadinya menyampaikan kepada anak kalau tak ada uang.
Ini merupakan contoh sederhana bagaimana keras dan kasar itu sama sekali berbeda dengan tegas. Pada kasus tersebut, orangtua bahkan bukan sekedar kasar. Orangtua juga menunjukkan kebohongan yang besar kepada anak.
Padahal, ada tuntunan khusus komunikasi orangtua kepada anak di dalam AL-Qur’anul Kariim, yakni berbicara dengan qaulan sadiidan (perkataan yang benar).
Ketegasan itu sangat diperlukan oleh anak. Ia memerlukan keyakinan dan pijakan yang kokoh. Ketegasan mengajarkan kepadanya tentang betapa pentingnya bersikap konsisten terhadap aturan, keyakinan dan agama. Komitmen tidak bernilai tanpa konsistensi. Anak tak dapat belajar memiliki komitmen ketika melihat bagaimana perkataan mudah diciderai. Sebaliknya, anak sulit untuk belajar konsisten manakala yang tampak seolah tegas itu identik dengan keras dan kasar.
Keras itu adakalanya diperlukan sejauh takarannya pas. Orangtua memiliki ilmu yang memadai untuk menakar maslahat – madharatnya, pun waktu serta cakupan masalah yang perlu disikapi. Ini berarti, orangtua harus mengilmui agar sikap tersebut tidak rancu dengan kasar, tidak pula membuat anak lari dari dirinya, lebih-lebih dari agama. Cara mendidik inilah yang kita dapati pada diri Asaduddin Syirkuh, paman dari Yusuf bin Najmuddin Al-Ayyubi.
Menghadapi keponakannya yang cengeng, Asaduddin mendidiknya dengan keras beriring tulusnya kasih-sayang seraya menunjukkan besarnya tanggung-jawab yang kelak harus dipikul oleh Yusuf. Sikap keras itu menghilang seiring terbentuknya kepribadian Yusuf bin Najmuddin Al-Ayyubi yang kian kokoh. Kelak kita mengenal Yusuf sebagai pembebas Masjid Al-Aqsha yang sangat dihormati, teguh pendirian, kuat tekadnya dan ia mendapat sebutan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Keras berbeda dengan kasar. Orangtua yang mendidik anaknya dengan keras tetap dapat menunjukkan kelembutan dan kasih-sayang. Sementara sikap kasar menandakan tercabutnya kelembutan dan itu berarti menjauh dari kebaikan. Sikap keras kerap dianggap sama dengan tegas, padahal sama sekali berbeda. Jika kita mendidik anak dengan keras tanpa mengilmui, yang terjadi adalah pola asuh yang keras dan bahkan kasar, tanpa ada ketegasan. Tanpa empati dan kasih-sayang.
Hal yang perlu diwaspadai oleh mereka yang cenderung keras adalah mengendalikan emosi. Cara mendidik yang cenderung keras hanya akan baik apabila dilakukan oleh mereka yang kendali emosinya sangat kuat. Bukan reaktif yang lebih dekat dengan gegabah dan ceroboh. Tanpa mengilmui dan kemampuan mengendalikan emosi, cara mendidik yang keras akan melahirkan permusuhan. Tak ada kepedulian antar saudara, tak ada empati kepada orang lain, termasuk kepada teman sebaya.
Lembut tapi Tak Mendidik
Kelembutan itu membaguskan segala sesuatu yang ia melekat kepadanya. Tidaklah kelembutan terdapat pada sesuatu, kecuali ia akan membaguskannya. Dan tidaklah ia tercabut dari sesuatu, kecuali akan membawa kepada keburukan. Maka pada sikap tegas, kelembutan itu harus ada. Ketika untuk menegakkan pendidikan kadang harus keras, kelembutan itu harus ada. Tanpa kelembutan, kerasnya sikap menjadi tindakan gegabah dan kasar.
Begitu pentingnya kelembutan sehingga kita perlu mengilmui agar tak keliru. Jangan sampai mengira sebagai kelembutan, padahal ia sesungguhnya telah menjatuhkan kita kepada sikap yang lemah. Jangan pula karena ingin bersikap lembut, anak justru tidak memiliki keyakinan kokoh dan sikap yang jelas sehingga ketika memasuki usia remaja, terombang-ambinglah dirinya. Ia mengalami krisis. Tanpa mengilmui, sikap lembut hamper-hampir tak ada bedanya dengan sikap tak peduli.
Kelembutan itu menghiasi segala sesuatu. Artinya, sesuatu itu harus ada. Mengasuh mendidik anak harus disertai kelembutan. Ini berarti lembut saja tidak cukup. Jika orangtua melimpahi anak dengan kelembutan tanpa menegakkan tugasnya mengasuh, maka anak akan menuai masalah.
Anak kecil belajar mencoba berbagai hal; kadang ia benar, kadang ia salah. Tugas kita membimbing dan memberi respon dengan baik disertai kelembutan sehingga ia dapat belajar dari berbagai kegiatannya. Hanya memberinya kelembutan, tanpa menunjukkan respon yang memadai, anak tak dapat belajar. Jangankan untuk hal-hal yang pelik, sekedar mengucap kata dan berbicara pun, anak perlu rangsang dan respon yang mencukupi, Bukan hanya sering mendengar suara orang berbicara. Rangsang itu antara lain berupa perkataan yang suaranya memang ditujukan kepadanya (shooting voice). Tanpa itu, riuh rendah suara orangtua berbicara maupun bercanda dengan orang lain akan menjadi sekedar kebisingan (noise).
Ada orangtua yang begitu cinta kepada anak. Ia ingin mengasuh dengan lembut. Tetapi yang terjadi, ia hanya menganugerahi anak dengan kelembutan yang tak habis-habis, sementara lisannya tertahan tak bicara. Tak pula sigap ketika anak melakukan sesuatu. Menggeleng dan memberi isyarat dengan jemari memang dapat memahamkan anak tentang maksud kita, tetapi tidak menawarkan pengalaman yang utuh kepada anak. Ia juga kesulitan untuk menirukan bahasa sehingga berdampak sulit memproduksi kata-kata.
Ini hanyalah sekedar contoh. Banyak sekali kasus anak bermasalah bukan karena orangtua kasar. Orangtuanya bahkan sangat lembut. Tetapi manakala tidak diletakkan pada sikap yang ngemong (nurturing) dan responsif, kelembutan itu justru menjadi kelemahan.
Ringkasnya, sikap apa pun perlu kita ilmui. Inilah PR besar sebagai orangtua. Saya pun masih harus terus belajar dan bahkan perlu lebih banyak lagi. Dalam hal ini, peran istri sangat besar untuk senantiasa mengingatkan dan berhenti belajar, termasuk belajar mengendalikan diri.*
Penulis buku-buku parening. Artikel bisa dibaca di FB Mohammad Fauzil Adhim
Sumber: hidayatullah.com