~Di antara sekian banyak hikmah puasa Ramadhan yang tertuju kepada turunnya Al-Qur’an dan bahwa bulan Ramadhan merupakan waktu turunnya yang terpenting~ (Badiuzzaman Said Nursi)
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, شهر رمضان الذى أنزل فيه القرآن
“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an…” (QS. 2:185). Terkait ayat di atas Badiuzzaman Said Nursi menyatakan bahwa firman Allah itu merupakan penegasan bahwa Ramadhan benar-benar merupakan bulan Al-Qur’an. (Badiuzzaman, Misteri Puasa, 8).
Untuk itu Badiuzzaman berpesan agar anugerah ini tidak disia-siakan. Beliau kemudian memberikan tips berinteraksi dengan Al-Qur’an sebagai berikut:
“Karena Al-Qur’an telah turun pada bulan Ramadhan yang penuh berkah, maka jiwa harus bersih dari berbagai keinginan hina dan jauh dari berbagai perkara buruk guna bersiap-siap menyambut kalam samawi tersebut dengan baik. Yaitu dengan menghadirkan hati pada saat turunnya di bulan ini serta menyerupai kondisi malaikat dengan tidak makan dan tidak minum, membaca Al-Qur’an Al-Karim seakan-akan ayat-ayatnya baru turun kembali, menyimaknya dengan khusyuk, serta mendengarkan pesan ilahi tersebut agar bisa meraih kondisi spiritual yang mulia seakan-akan si pembaca mendengar langsung dari Rasul ﷺ. Atau, seakan-akan ia mendengarnya dari Jibril ‘alayhis-salam. Atau bahkan mendengarnya dari Sang Penutur Azali, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian ia menyampaikan dan membacakannya kepada orang lain seraya menjelaskan salah satu hikmah turunnya.” (Badiuzzaman Said Nursi, Misteri Puasa, 7-8).
Mengagungkan Kalamullah
Jika begitu, maka berinteraksi dengan Al-Qur’an di bulan Ramadhan ini harus sungguh-sungguh dan serius. Disamping harus persiapan penuh: bersih lahir dan batin. Menyiapkan kondisi spiritual yang prima. Karena ia bukan kata-kata biasa. Al-Qur’an adalah ‘Firman’ atau Kalamullah: perkataan Allah Yang Mahasuci dan Mahaagung.
Seorang Sahabat Nabi yang mulia, Abū Umāmah al-Bāhilī pernah berkata,
اقرؤوا القرآن ولا تغرنكم هذه المصاحف المعلقة، فإن الله لا يعذب قلبا هو وعاء للقرآن
“Bacalah Al-Qur’an dan janganlah kalian terlena dengan mushaf-mushaf yang tergantung ini. Sungguh, Allah tidak akan menyiksa hati seseorang yang menampung Al-Qur’an.” (Imam Abū Hāmid al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, ed. Shidqī Muhammad Jamīl al-‘Atthār (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1429 H/2008 M): (I/344)
Artinya, tidak sembarang hati dapat disinari oleh cahaya Al-Qur’an. Hanya hati yang bersih dan jauh dari keinginan dan hasrat hina itu yang dapat disentuh cahaya Al-Qur’an, sebagaimana yang disampaikan Badiuzzaman.
Bahkan, ini yang luar biasa, kata kata Sahabat Nabi yang lain, ‘Amr ibn al-‘Āsh,
من قرأ القرآن فقد أدرجت النبوة بين جنبيه إلا أنه لا يوحى إليه
“Siapa yang membaca Al-Qur’an ia telah diberi anugerah kenabian. Hanya saja ia tidak menerima Wahyu.” (Imam al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn (I/344).
Maka, Imam al-Ghazāli memberi nasihatnya bahwa diantara adab batin bagi yang membaca Al-Qur’an ada sepuluh, yaitu:
Pertama, memahami keagungan Kalam (Al-Qur’an), ketinggian derajatnya dan karunia Allah dan kasih-sayang-Nya kepada makhluk-Nya yang menurunkan Al-Qur’an dari Singgasana keagungan hingga memahamkannya kepada manusia.
Dua, mengagungkan Allah ketika membacanya. Dan dia harus tahu bahwa apa yang dibacanya bukan ucapan manusia. Ia adalah Kalamullah.
Tiga, menghadirkan qalbu dan tidak sibuk dengan urusan sendiri; Empat, tadabbur; Lima, tafahhum (berusaha memahami ayat-ayatnya; Enam, menjauhkan segala yang menghalangi pemahaman (ada empat, yaitu: (a) sibuk dengan makhraj huruf, (b) taqlid dan fanatik pada satu mazhab, (c) tenggelam dalam dosa, sombong, dan cinta dunia, (d) berkutat pada tafsir zahir dan meyakini bahwa tidak ada makna lain dari kata-kata Al-Qur’an selain pendapat Ibn ‘Abbās, Mujāhid, dan yang lainnya. Padahal ada makna lain.
Tujuh, at-Takhshīsh: merasa dirinya yang menjadi sasaran ujaran Al-Qur’an. Ketika membaca ayat tentang perintah atau larangan dia merasa bahwa dialah yang sedang diperintah Allah atau dilarang. Begitu juga dengan ayat-ayat lainnya.
Delapan, at-Ta’attsur: hatinya dihadirkan agar terpengaruh oleh ayat yang dibacanya. Karena ayatnya banyak, maka kondisi dan situasi hatinya akan berubah-ubah, sesuai keadaan ayat yang dibacanya.
Sembilan, at-Taraqqī, yakni: hendaknya ketika membaca ia seakan-akan menerimanya dari Allah, bukan dari dirinya. Maka level bacaan Al-Qur’an ada tiga, yaitu: (a) hendaknya hamba yang membaca merasa bahwa ia membacanya di hadapan Allah dan Allah sedang melihat dan mendengarkan bacaannya; (b) qalbunya menyaksikan bahwa Allah melihatnya dan menyapanya dengan penuh kelembutan. Inilah maqam malu, pengagungan, mendengar, dan memahami; (c) hendaklah ketika membaca ia mendapati Allah dalam Kalam-Nya dan dalam kata-kata Al-Qur’an ia temukan sifat-sifat-Nya.
Sepuluh, at-Tabarrī, yaitu: hendaklah hamba yang membaca Al-Qur’an berlepas dari daya dan upayanya. Jika membaca ayat yang berisi janji dan pujian bagi orang-orang salih dia merasa bahwa dia tak layak mendapat derajat itu. Ia tak menemukan dirinya dalam golongan itu. Sebaliknya, ketika membaca ayat-ayat yang berisi celaan dan hardikan bagi pelaku maksiat dan kurang taat maka dia merasa bahwa dia bagian dari mereka. Bahkan, sebenarnya ayat-ayat itu untuk dirinya sehingga ia merasa takut. (Imam al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn (I/-352362).
Apa yang dipaparkan oleh Hujjatu’l-Islām Imam al-Ghazālī itu “disarikan” oleh Badiuzzaman sebelumnya. Istilah Badiuzzaman adalah “kondisi spiritual yang mulia”. Dari kondisi itu si pembaca, ketika membaca Al-Qur’an, seakan-akan ia mendengar langsung dari Rasulullah, atau dari Jibril, bahkan mendengarnya langsung dari Sang Penutur Azali, Allah. (Badiuzzaman Said Nursi, Misteri Puasa, 8).
Maka, bulan Ramadhan ini harus menjadi momentum dan kesempatan emas dalam berinteraksi intensif dengan Al-Qur’an. Sehingga kesan bersamanya begitu indah dan mendalam. Namun tentu syarat-syaratnya harus mengacu kepada nasihat Imam al-Ghazālī yang diringkas dan digemakan kembali oleh Said Nursi. Wallāhu A‘lam bis-Shawāb.
Sumber: hidayatullah.com